Senin, 17 November 2014

Langkah - langkah Membangun Keluarga Sukhinah.

A.   PENDAHULUAN

       Patut disadari bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam menata,
       membentuk   anak yang suputra, anak yang baik dan bertanggung jawab. Mengingat disinilah
       tempat yang paling utama untuk melahirkan anak – anak bangsa yang mulia. Dalam keluarga
       peranan orang tua sangat mutlak menentukan proses pendidikan terutama ibu, sedangkan ayah
       lebih bersifat mengawasi, meluruskan dan menyempurnakan proses tersebut. Ibu dapat
       diibaratkan sebagai arsitek dalam keluarga yang memiliki tugas mengatur, menata baik yang
       berhubungan dengan makanan (tata boga), tata busana dan tata graha. Dan yang terpenting
       adalah peran ibu menjadi kunci dalam membina, membentuk pribadi dan karakter anak. oleh
       karena itu agar terjadi saling pengabdian antara ayah dan ibu, dan tidak saling menguasai, maka
       sebelum membangun keluarga  yang satyam, sivam, sundaram yang perlu diperhatikan adalah
       cara untuk mendapatkan pasangan hidup, tata letak bangunan rumah (tata graha), hari baik
      Wivaha dan memahami peran orang tua (ayah, istri) dan anak – anaknya. Ini sangat penting
       mengingat keluarga akan ada sepanjang hayat. 
 
B.   PENGERTIAN KELUARGA SUKINAH

       Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan Keluarga adalah orang – orang yang menjadi
       penghuni rumah, seisi rumah; bapak, ibu dan anak – anaknya, satuan kekerabatan yang mendasar
       dalam masyarakat ( Umi Chulsum, S.Pd : 2006, 360).. Dalam konsep Hindu Keluarga berasal
       dari kata Kula yang berarti “Pengabdian” dan Warga berarti “Jalinan”. Dengan demikian
       Keluarga adalah jalinan atau ikatan pengabdian. Ikatan pengabdian untuk mewujudkan
       kehidupan yang damai, sejahtera, seimbang dan harmonis (sukhino) sebagai penunjang dari
       kehidupan kemasyarakatan secara keseluruhan . Dalam Dresta di Bali, disebutkan bilamana
       seseorang ingin melangsungkan perkawinan, ia harus mengikuti ketentuan “TIGA
       MAH” (umah/Rumah/papan, amah/kebutuhan pangan dan sandang, somah (pasangan hidup).
       Untuk mendapatkan ketiga itu harus berlandaskan dharma (Drs. I Ketut Pasek Swastika, 2011 :
       114).

       Kitab Manawa Dharmasastra IX. 45 :
       Etavan eva puruso, Yajjaya atma prajeti ha,
      Viprah prahus tatha caitad, Yo bharta sa smrtangana
       Terjemahan :
       Ia hanya merupakan orang sempurna yang terdiri dari tiga orang yang menjadi satu isterinya, Ia
       sendiri dan keturunannya; demikian dinyatakan dalam Veda dan Brahmana mengatakan
       perumpamaannya suami dinyatakan satu dengan istrinya.

      Dari beberapa pengertian diatas, sangat jelas bahwa  unsure – unsure dalam keluarga hindu adalah
      adanya Rumah, Bapak, Istri, Putra – putranya. Dan  di dalam rumah itu terjadi saling Pengabdian
      yang berdasarkan dharma (kewajiban). Jalinan atau ikatan pengabdian dalam rumah tangga baik
      secara Vertikal maupun secara horizontal. Pengabdian secara Vertikal  adalah pengabdian
      menjalankan ajaran dharma, bhakti kepada Tuhan  melalui tapa, yoga semadi, dan lain – lainnya
      yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan dalm upaya membangun kehidupan spiritual dalam
      keluarga tersebut. Sedangkan secara horizontal adalah pengabdian sesame dalam keluarga
      tersebut antara ayah, Ibu dan anak – anaknya. Disamping itu keluarga juga menjaga dan menjalin
      hubungan dengan baik dengan tetangga terdekat dengan jalan melakukan dialog kehidupan, guna
      menjaga kerukunan hidup bertetangga.  Jika kehidupan berumah tangga (keluarga) kita pahami
      sebagai ikatan pengabdian, maka dalam keluarga tidak ada istilah yang berkorban dan
      dikorbankan, tetapi jalinan kasih dengan pengabdian. Sungguh keliru jika ada pendapat bahwa
      orang tua berkorban untuk anaknya demikian pula sebaliknya. Seorang suami sangatlah keliru
      jika berpikiran ia berkorban untuk istri dan anaknya, begitu pula sebaliknya. Semua anggota
      keluarga hendaknya menyadari dengan sadar bahwa ia melakukan pengabdian dengan jalinan
      kasih sayang yang tulus iklas diantara sesame anggota keluarga. Dengan demikian semua anggota
      keluarga sewajarnya melakukan pengendalian diri. Dapat disimpulakn secara sederhana yang
      dimaksud keluarga Sukhinah adalah ikatan pengabdian antara Ayah, Ibu dan putra - putranya
      untuk melakukan proses pembangunan agar didalam keluarga tersebut sejahtera dan
      bahagia. Keluarga bahagia akan terwujud jika sandang, pangan dan papan terpenuhi.  

C.   Langkah - Langkah Membangun Keluarga Sukhinah.

       1. Pemilihan calon Pendamping (suami atau istri).
           Dalam Undang – Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 dijelaskan Perkawinan adalah ikatan
           lahir    dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
           untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
           Dengan kata lain keluarga dibentuk dari perkawinan yang suci dan sacral. Keluarga yang
           demikian disebut keluarga Sukhinah. Keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
           memenuhi hayat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana pengabdian
           dengan kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkunganya dengan selaras, serasi,
           harmonis dan mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai – nilai sraddha dan
           bhakti. 

Perkawinan adalah upaya untuk menyatukan pikiran – pikiran diantara insane berbeda untuk mewujudkan satu pemikiran guna mencapai tujuan keluarga yang sejahtera. Untuk itu sangat dipengaruhi usaha seseorang untuk memperoleh pasangan yang baik, sebab perkawinan tidak untuk sekejap atau main – main tetapi memiliki tujuan mulia. Tujuan dimaksud adalah melaksanakan ajaran agama (dharmasampati), melakukan kepuasan nafsu dengan tujuan kebajikan (Rati) dan untuk mendapatkan keturunan (praja). Setiap pasangan pengantin pasti menginginkan anak yang suputra. Untuk itu diupayakan agar tidak salah pilih dalam memnentukan pasangan hidup. Pemilihan pasangan hidup yang baik adalah selalu melihat dari aspek Bibit, Bobot dan Bebet (Arthayasa dkk, 2004 : 12).

Aspek bibit berhubungan dengan asal – usul calon pasangan. Pemilihan calon pasangan hendaknya dilihat dari keluarga baik – baik artinya bukan dari keluarga yang gemar mabuk, main judi, suka marah, berpenampilan kotor, pembohong, suka memfitnah dan sebagainya sebagai aplikasi dari ajaran Sad Ripu dan Sad Atatayi. Hal seperti ini sangat perlu untuk dihindari sebab akan berpengaruh terhadap keturunan anak – anak kelak. Untuk itu agar diupayakan dengansebaik – baiknya agar mendapatkan calon pasangan dari ciri – ciri kelahiran Swargavyuta yakni mereka – mereka yang memiliki ciri Arogya (tidak sakit – sakitan), Rati (disayangi oleh keluarganya), Curatwa (bersifat kesetria), Dewasubhaktih (Bhakti pada Tuhan), kanakalabha (murah rejeki), Rajapriyatwa (disayangi oleh orang besar), Cura (pemberani), Krtawidya (bijaksana), Pryamwada/ ramah tamah (I Gusti Agung Oka, 1994 : 24 -25). Aspek Bebet atau penampilan. Menurut I Gede Pudja, 2002 : 132 – 133) hendaknya dihindari orang yamg memiliki kelahiran dari Nerakacyuta dengan ciri – ciri anapatya (mandul), akamarasa (wandu), Pitti (memiliki penyakit asma), kujiwa (bisu), Clesma (berbicara kurang jekas),  dan memiliki rambut kemerah – merahan. Aspek Bobot banyak sekali diatur dalam susastra Hindu. Dalam Canakya Nitisastra dan Veda Semerti III. 7 disebutkan Keluarga yang tidak mempunyai kepakaan terhadap upacara suci, tidak mengerti ajaran Veda hendaknya dihindari untuk dijadikan pasangan hidup dalam keluarga.

Menentukan pasangan hidup, bukan mudah. Sebab kalau salah memilih teman hidup sama halnya salah membangun pondasi rumah. Mesti kita meyakini bahwa jodoh berada di tangan Ida Sanghyang Widhi Wasa, namun selaku makhluk ciptaan Tuhan kita tidak boleh menerima begitu saja, kita harus berupaya agar mendapatkan yang terbaik untuk keluarga nantinya. Oleh karena itu hal – hal yang harus diperhatikan dalam menentukan pasangan hidup adalah Usia/ umur, Pendidikan, Keyakinan, Pekerjaan, tenung kelahiran, nama, kesehatan dan karakternya. Manawa Dharmasastra III.7 menganjurkan untuk menghindari memilih calon istri yang keluarganya tidak melaksanakan upacara – upacara suci, tidak memiliki keturunan laki – laki, tidak mempelajari Veda, anggota badannya berbulu tebal, memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, maag dan lepra (hina kriyam nispurusam, nischando roma sarsasam, ksayyamaya pasmari, svitrikusthi kulani ca).
            Disamping ciri – ciri yang telah disebutkan diatas dalam memilih calon pasangan hidup, perlu
            juga diketahui tenung pertemuan antara yang laki dengan wanita dilihat dari pertemuan Sapta
           Wara dan Panca Wara, baik laki maupun pertemuan. Dalam Wariga Sundari Bungkah
           disebutkan untuk mengetahui pertemuan kita baik atau buruk bisa dilihat berdasarkan atas urip
           Pancawara - Saptawara dan Sadwara dari kelahiran pasangan suami istri, kemudian dibagi 16,
           maka sisanya sebagai berikut :
            1. Sisa 1              = suka dan duka, bimbang
            2. Sisa 2              = Suka sandang pangan
            3. Sisa 3              = Kecewa, malu, bertengkar
            4. Sisa 4              = tanpa anak/ kematian anak
            5. Sisa 5              = sejahtera
            6. Sisa 6              = sengsara, sakit - sakitan.
            7. Sisa 7              = suka, duka tetapi bahagia.
            8. Sisa 8              = sulit hidupnya.
            9. Sisa 9              = bhaya pati, salah satu mati.
           10. sisa 10           = berwibawa
           11. sisa 11           = Prajnan, berwibawa, sejahtera dan cita - cita tercapai.
           12. sisa 12           = rukun sejahtera
           13 sisa 13            = panjang usia dan berkecukupan.
           14. Sisa 14          = dapat kesenangan tapi kena musibah
           15. Sisa  15         = tanpa anak, dapat kesulitan
           16. Sisa 16          = disayangi keluarga dan teman
         
2.      Hari baik Vivaha.
            Agar memperoleh keluarga  yang baik maka hendaknya perkwinan dilakukan secara Brahma
           Vihaha, Daiva Wivaha, Arsa vivaha dan Prajapatya vivaha. Brahma vivaha yaitu perkawinan
           yang dilakukan dengan memberikan anak gadis kepada seorang pria yang ahli veda dan
           berprilaku baik. Daiva Vivaha; perkawinan atas dasar suka sama suka dengan jalan
           memberikan anak gadis kepada seorang pendeta yang telah melaksanakan upacara pada saat
           upacara berlangsung. Arsa Vivaha; perkawinan yang didasari atas suka sama suka dan
           dilakukan oleh orang tua kedua mempelai dengan diawali pemberian mas kawin oleh pihak
           pria. Prajapatya; perkawinan atas suka sama suka atas persetujuan orang tua.

Dalam melaksanakan upacara Vivaha sangat dianjurkan untuk mencari hari baik. Karena hal ini akan sangat berpengaruh pada perjalanan perkawinan, walau sampai saat ini belum ada penelitian terhadap waktu pelaksanaan perkawinan. Dalam menentukan waktu perkawinan, hal yang perlu diperhatikan adalah sasih yang baik (ayu), penanggal/pangglong, wuku, wewaran, pewatwkan,Inggkel, dawauh, arah perjalanan yang baik, larangan yang patut dihindari, caru sasih dan pertimbangan dari Pandita/ Sulinggih (I Ketut Pasek Swastika, 2011 : 77). Bilamana suatu ketika melaksanakan upacara pernikahan harinya disebut baik, namun saat bersamaan ada upacara Dewa yajna di Merajan/ Sanggah atau kayangan setempat, maka sebaikya upacara pernikahan jangan dilakukan karena dianggap Memada – mada, dan diyakini akan berakibat tidak baik, seperti akan kejadian sakit – sakitan, perceraian dan lain – lainnya.

          Berikut  gambaran dewasa yang baik untuk melaksanakan perkawinan : 
          a.       Sasih                      : ketiga, kapat,kelima, kepitu, kedasa.
          b.      Penanggal              : ping 1, 2, 3, 5, 7, 10, 13.
          c.       Pangglong              : ping 1, 2, 3, 5, 7, 10, 13.
          d.      Wewaran, Dwiwara : Menga, Tri Wara Beteng, Catur Wara : Sri, laba, jaya menala,
                   Pancawara; umanis, paing, pon, kliwon, Sad Wara; Paniron, Was, Maulu, Saptawara;
                   Soma, Bhuda, Wrspati, Sukra; Astawara : Sri, Indra, Guru, Yama, Brahma, Uma;
                   Sangawara : Gigis, Nohan, Tulus, Dadi; Dasawara : pandita, suka, sri manuh, manusa,
                   raja, dewa.
           e.       Wuku; landep, ukir, kulantir, julungwangi, merakih, metal, uye dan uGu.

3.      Rumah tempat tinggal.
         Ajaran Hindu menganjurkan agar struktur bangunan ditata berdasarkan konsep Tri Mandala
         yaitu adanya tempat sembahyang (utama mandala), tempat kegiatan cengkrama dengan
         anggota  keluarga atau kegiatan social (madya mandala) dan adanya pelestarian lingkungan 
         (nista mandala). Maksud dari penataan ini adalah untuk menjamin hubungan yang
          berkelanjutan  tiada henti secara harmonis antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
         manusia dengan sesame, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Dengan adanya
         keharmonisan tersebut, kebahagiaan akan terwujud dalam rumah tangga. Dalam susastra hindu
         disebutkan jika keluargaa memiliki halaman rumah dan adapat digunakan untuk membangun
         tempat suci, maka dianjurkan untuk membangun tempat suci tersebut. Tetapi bila tiada halaman
        yang ada hanya rumah dengan kamar – kamarnya, maka paling tidak ada tempat khusus untuk
        sembahyang yang mana pada tempat/ ruang tersebut ada sebuah pelangkiran. Bangunan rumah
        sebagai tempat bercengkrama keluarga, dalam tradisi Bali yang wajib diperhatikan adalah Letak
        bangunan Dapur di selatan bararti cukup pangan, akan tetapi jika dapur terletak dibarat, timur,
        utara, barat laut, timur laut akan berakibat dalam keluarga selalu berselisih, pintu rumah banyak
        dalam satu sisi akan berakibat boros dan sakit – sakitan dan Penempatan pintu halaman rumah
        juga menentukan. Posisi pintu halaman rumah banyak dikupas dalam Astha Bumi dan Kosala
        Kosali.

4.      Pemenuhan kebutuhan
         Terdapat 3 (tiga)  hal penting kebutuhan hidup dalam membangun keluarga sukhinah. Ketiga  
         hal tersebut antara lain :
 a.   Ahara (Makanan)
                   Ahara artinya membangun hidup yang berkualitas hendaknya diawali dengan 
                    mendapatkan makanan dan mengelola makanan  dengan baik dan benar. Makanan yang
                    diperoleh dari hasil kejahatan (dari mencuri, menipu, dan korupsi) dapat menutup hati
                    nurani. Bila hati nurani kita tertutup maka kita akan mudah berbuat yang asubha karma.
                    Seseorang yang terturup hati nuraninya tidak akan dapat melihat dengan baik sinar
                    kebenaran.

                  Chandogya Upanisad : Ahara suddhau sattva suddhih, sattva suddhau dhruva smrtih
                  smrti lambe sarvagranthinam vipra mokshah artinya bahwa makanan tingkat satvam
                  menyucikan sifat – sifat satvam, dengan tersucikan sifat satvam, ingatan jadi tajam, dan
                  dengan ingatan tajam (ingatan rohani) maka segala kotoran akan menjadi sirna).

                 Bhagavad Gita XVII.8 : Ayuhsattvabalarogya, Sukhapritiwiwardnahan, Rasyah snigdhah
                 sthira hridya stasAharah sattvikapriyah (Makanan yang meberi hidup, kekuatan, kesehatan,
                 kebahagiaan dan kesenangan yang terasa least, lembut, menyegarkan dan enak adalah
                 sangat disukai oleh satvika (orang baik).

                Makanan yang segar kita nikmati akan mendatangkan Ayuh (dapat memperpanjang umur),
                Satvika ( mensucikan atma), Bala(memberikan kekuatan fisik), Arogya ( menjaga
                 kesehatan). Sukha (memberi rasa bahagia), dan Viva dhayah (meningkatkan status
                 kehidupan)

2.     Ausada yaitu upaya untuk memelihara kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan fisik maupun
         mental. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengamalkan kesusilaan (subha karma)
         antara lain  Panca Yama Brata, Catur Paramita (empat kebajikan luhur), Tri Kaya Pari Sudha(tiga
         perbuatan yang suci/bersih), Tatvam Asi dan mengamalkan ajaran Vasudeva Kutumbhakam
         dalam kehidupan sehari – hari.

        Kitab Manawa Dharmasastra IX.36 disebutkan :
        Yadruam tupyate bijam, ksetre kalopapadite,
        Tad rg rohati tat tasmin,  bijam svair byanjitam gunaih
        Terjemahan :
        Apapun macam benih yang disemaikan, disiapkan pada waktu – waktu tertentu, tumbuh dari
        jenis itu, ditandai oleh sifat – sifatnya yang khas dari benih itu, tumbuh dari padanya.

       Dalam upaya menciptakan suasana keluarga bahagia dan sejahtera, maka peranan kesehatan
       tidak bisa diabaikan. Sebab kesehatan keluarga merupakan salah satu faktor yang ikut
       menentukan terciptanya kondisi keluarga bahagia dan sejahtera. Adalah sangat mustahil bagi
       suatu keluarga untuk dapat menikmati kondisi bahagia dan sejahtera jika berada dalam keadaan
       tidak sehat jasmani. Demikian halnya kesehatan mental dan kesehatan sosial sangatlah
       menentukan juga. Ada disebutkan “Dharmathakamamoksanan sariram sadhanan” artinya badan
       adalah alat untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Untuk menjaga kesehatan dalam
       suatu rumah tangga , ada beberapa prilaku hidup bahagia dan sehat yang patut dilakukan dalam
       rumah antara lain : mengenakan pakaian yang sopan, biasakan mencuci tangan sebelum makan/
       sesudah makan, memperhatikan kebersihan kamr kecil (WC), tidak membuang sampah
       sembarangan, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok,  tidak meludah sembarangan,
       mencegah hewan peliharaan agar tidak berkeliaran. Membrantas jentik nyamuk, dan lain – lain
       (PHDI & Kemenkes; 2012 : 7 -8). Untuk menjaga kesehatan dianjurkan untuk memperhatikan
       makanan yang bersih  dan sehat serta memperhatikan kaidah gizi seimbang. Pada waktu makan
       diupayakan agar melakukan doa sebelum makan, menghadapi dan memakan makanan dengan
       penuh perhatian (tidak menghina makanan), makan makanan dengan penuh minat, tidak boleh
       menyisakan makanan agar sisanya tidak terbuang, sebab nasi adalah penjelamaan Dewi Sri yang
       wajib dipuja agar nasi membawa kesehatan bagi yang memakannya.

3. Vihara (Gaya Hidup)
     Vihara yakni membina sikap hidup yang dapat mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Veda
     memberi petunjuk kepada umatnya untuk mempelajari 2 (dua) Ilmu Pengetahuan yaitu yang
     bersifat spritual dan yang material (Dve Vidye viditavye para caivapara ca). Ilmu pengetahuan
     spiritual untuk melaksanakan dharma dan mencapai moksha, sedangkan ilmu pengetahuan
     material untuk memperoleh artha dan menikmati kama. Ini berarti tugas umat Hindu adalah
     melaksanakan dharma, mengumpulkan artha kekayaan, menikmati kama dan mecapai Moksha.
     Untuk mendapatkan itu semua wajib berlandaskan dharma berdasarkan ajaran – ajaran agama.
     Apabila keempat tujuan hidup (Catur Purushartha) ini dilaksanakan secara benar dan saling
     bersinergi maka ada peluang tercapainya tujuan hidup berupa kebahagian jasmani dan rohani   
     seperti apa yang menjadi visi ajaran Hindu yaitu Mokshartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.
     Bhagavadgita menyatakan bahwa ada tiga pintu gerbang yang dapat mengantarkan umat
     manusia jatuh kedalam kehancuran yaitu Krodha (marah yang tidak terkendali), Loba (serakah,
     ambisi, rakus) dan Kama ( penyaluran napsu, keinginan yang tidak terkendali).

 5.  Pemahaman akan kewajiban.
         Landasan yang sangat perlu dibangun dalam membuat keluarga bahagia adalah orang tua
          berlaku bijaksana, memahami dan mengamalkan ajaran Veda, selalu ingat dengan leluhurnya
         dan sangat menyayangi, menghargai orang lain ataupun tetangga mereka. Hal ini dinyatakan
         dalam kekawin Ramayana “Gunamanta sang dasarata, wruh sira ring Veda,
         tarmalupeng pitra puja, maasih ta sireng swagotra kabeh”. Dengan memahami dan
         mengamalkan ajaran ini, maka setiap keluarga dengan tidak jemu – jemu untuk berusaha
         melaksanakan tugas dan kewajibannya antara lain :

         a. Kewajiban Suami.
             Swami berasal dari bahasa sanskerta yaitu Svami yang berarti Pelindung atau Bapak yang
             dihormati dalam keluarga Hindu. Swami adalah pemimpin yang memegang segela bentuk
             kebijakan dalam rumah tangga. Sementara Yuda Tri Guna mengartikan Ayah/Bapak di
             maknai sebagai seseorang yang bertanggung jawab, karenanya jangan sekali - kali menye
             but dirimu Bapak,jika tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab seorang swami menurut
             Sarasamuccaya 242 yaitu  Sarira Krti ( menjamin kesehatan keluarga), Prana data
            (membangun jiwa  anak) dan Anna data (memberikan makanan). Lebih lanjut tentang tugas
            swami dijelaskan dalam Manawadharmasastra IX.2, IX.3, IX.9 dan IX.11. Isi dari sloka -
            sloka tersebut dapat disebutkan Fungsi swami yaitu :
            - Senantiasa menjaga dan melindungi istri dan anak - anaknya, serta memperlakukan dengan
              wajar dan hormat, karena keluarga adalah jalinan pengabdian.
            - Menyerahkan kepada istri penghasilannya untuk dikelola dengan baik pada jalan dharma.
           -  Menggauli istrinya dengan memberikan nafkah bathin dan selalu merasa puas dengan
              istrinya.
           -  Selalu menjalankan kewajiban rumah tangga
           -  Selalu melaksanakan Sraddha Pitra Puja, memelihara cucu - cucunya serta melaksanakan
               Panca Yajna.
 
         b.Kewajiban Istri
            Kata Istri dari bahasa Sanskerta akar "Stri" yang berarti Pengikat kasih. Dengan demikian
           fungsi istri adalah menjaga jalinan kasih saying kepada suami dan anak - anaknya. Disamping
           itu tugas utama Istri adalah bagian Tata bhoga, Tata busana, Tata Grha, dan pembimbing anak.
           Dalam Manawa Dharma Sastra IX. 26 - 27 disebutkan sebagai berikut :

           Prajanartham mahabhagan, pujarha grhdiptayah,
           striyah sriyas ca gahesu, na viseso 'stri kascana
           Artinya :
           Diantara wanita yang ditakdirkan untuk mengandung anak, yang menjamin rahmat phahala
           yang layak untuk dipuja dan yang menyemarakna tempat tinggalnya dan diantara dewi - dewi
           yang menganugrahi rumah seorang laki - laki tak ada bedanya diantara mereka.

           Utpadanam apatyasya, jatasya paripalanam
           pratyaham lokayatrayah, pratyaksam stri nibandhanam
           Artinya :
           Kelahiran dari anak - anak, memelihara mereka dalam kehdiupan sehari - hari dan berkaitan
           dengan itu merupakan kewajiban wanita.

           Dari kedua sloka tersebut diatas maka dapat disebutkan fungsi seorang isteri antara lain :
           1. Wajib untuk memenuhi Doa harapan orang tua yang menikahkannya.
           2. Wajib memenuhi harapan dari suami, berupa harapan kesetiaan.
           3. Selalu berpenampilan lemah lembut dan simpatik.
           4. Sebagai Ibu Rumah Tangga
           5. Sebagai Penerus keturunan
           6. Sebagai pembimbing anak
           7. Sebagai penyelenggara aktivitas keagamaan.

         c. Tugas Suami dan Istri/ orang tua menurut Niti sastra VIII.3 “Panca Vida “
                   1.      Sang amentwaken (yang menyebabkan kita lahir)
                   2.      Sang Nitya Naweh Bhinojana (memberi makan dan minum)
                   3.      Sang Manggu Padyaya (Pendidikan bagi anak – anaknya)
                   4.      Sang Anyangaskara (pengendalian diri dan penyucian diri)
                   5.      Sang Matulung Urip.

        d. Kewajiban Putra/ anak.
            Anak ada atau diadakan sebagai akibat dari proses perkawinan, karena itu anak dipandang
            sebagai tujuan hidup berumah tangga. Anak merupakan dambaan setiap keluarga, lebih - lebih
            anak suputra. Keberadaan ini tidak lepas dari sebuah perkawinan yang didasarkan atas
            Satyam, Sivam Sundaram. Dari kesetiaan akan muncul kebajikan yang pada akhirnya akan
            mendatangkan kesejahteraan atau kebahagiaan. Dalam hokum hindu, keberadaan anak
            merupakan suatu keharusan. Disamping sebagai penerus suatu keluarga dan penerus yajna,
            anak juga merupakan tempat berlindung. Anak merupakan penyelamatarwah leluhurnya dari
            api neraka.
            Dalam Sarasamuccaya 228 dinyatakan tugas anak :
            Anu tam tata jivanti, jnatayah saha bandhavah,
            parjanya iva bhutani drumam svadumivandajah
            Terjemahan :
             Yang dianggap anak adalah orang yang menjadi pelindung orang yang memerlukan
             pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan; untuk
             disedekahkan tujuannya, akan segala hasil usahanya,gunanya ia memasak menyediakan
            makanan untuk orang - orang miskin.
            Selanjutnya Sarasamuccaya 239 :
            Tapassaucavata nityam dharmasatyaratena ca,
             matapitroraharahah pujanamkaryamanjasa.
            Terjemahan :
            Orang yang senantiasa setiap hari hormat kepada Ibu, Bapaknya, tetap teguh melakukan
            tapa dan menyucikan diriberpegang teguh pada kebenaran dharma.

            Dari kedua sloka tersebut diatas dapat diketahui tugas anak adalah menyelamatkan
            orang tua dari api neraka, melanjutkan pelaksanaan yajna, menyediakan makanan kepada
           orang tuanya, menyucikan diri, berpegang teguh pada dharma dan menghormati orang tua.
           Phahala anak menghormati orang tua atau leluhur. Dalam kitab Taittiriya Upanisad I.11
           disbutkan Matri Deva bhava, pitri deva bhava, acaryadevo bhava, athitideva bhava. Artinya
           ibu, ayah, pandita dan tamu adalah Dewa. Dewa adalah sinar suci dalam rumah tangga. oleh
            karena itu ibu dan ayah sangat wajar untuk dihormati oleh keturunannya. Phahala hormat atau
           bhakti pada orang tua dinyatakan dalam Sarasamuccaya 250 yaitu Kirti; selalu dipuji dan di
           doakan untuk mendapatkan kerahayuan,  Ayusa; berumur panjang, Bala; mendapat
           kekuatan  dan Yasa; meninggalkan nama baik atau kerahayuan.
           

D.  DAFTAR PUSTAKA.

1.    Drs. I Ketut Pasek Swastika  ------------------Grhasta Asrama, Pen. Panakom,
                                                                               Denpasar, 2011.
2.    Umi Chulsum, S.Pd, Dkk          ---------------Kamus Besar Bahasa Indonesia,
                                                                            Pen. Kimko Surabaya, 2006.
3.    I Nyoman Kadjeng Dkk     ---------------------Sarasamuccaya, Pen. Paramita
                                                                             Surabaya, 2010.
4.    Ida Bagus Anom             --------------------Perkawinan Menurut Adat
                                                                          Agama Hindu. Pen. CV.
                                                                          Kayumas Agung Denpasar 2010.
5.    PHDI & KEMENKES, 2012 -------------------Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
                                                                               di Pura.
6.    Prof. DR.IB. Mantra             -------------------Bhagavad Gita,
                                                                               Milik Pemda Bali, 2001.
7.    Departemen Agama RI       ---------------------Modul Keluarga Bahagia
       Derektorat Jenderal                                       Sejahtera, menurut Pandangan
       Bimas Hindu dan Bhuddha                         
       Agama Hindu 2001,
8.    G.Pudja, MA, dan Tjokorda Rai---------------Manawa Dharmasastra,
       Sudharta, MA.                                                Pen. Paramita Surabaya.
9.    I Nyoman Arthayasa, dkk    ---------------------Petunjuk Teknis Perkawinan
                                                                                Hindu. Pe. Paramita Surabaya, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar