Patut
disadari bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam menata,
membentuk anak yang suputra, anak yang baik dan bertanggung jawab. Mengingat disinilah
tempat yang paling utama untuk melahirkan anak – anak bangsa yang mulia. Dalam keluarga
peranan orang tua sangat mutlak menentukan proses pendidikan terutama ibu, sedangkan ayah
lebih bersifat mengawasi, meluruskan dan menyempurnakan proses tersebut. Ibu dapat
diibaratkan sebagai arsitek dalam keluarga yang memiliki tugas mengatur, menata baik yang
berhubungan dengan makanan (tata boga), tata busana dan tata graha. Dan yang terpenting
adalah peran ibu menjadi kunci dalam membina, membentuk pribadi dan karakter anak. oleh
karena itu agar terjadi saling pengabdian antara ayah dan ibu, dan tidak saling menguasai, maka
sebelum membangun keluarga yang satyam, sivam, sundaram yang perlu diperhatikan adalah
cara untuk mendapatkan pasangan hidup, tata letak bangunan rumah (tata graha), hari baik
Wivaha dan memahami peran orang tua (ayah, istri) dan anak – anaknya. Ini sangat penting
mengingat keluarga akan ada sepanjang hayat.
membentuk anak yang suputra, anak yang baik dan bertanggung jawab. Mengingat disinilah
tempat yang paling utama untuk melahirkan anak – anak bangsa yang mulia. Dalam keluarga
peranan orang tua sangat mutlak menentukan proses pendidikan terutama ibu, sedangkan ayah
lebih bersifat mengawasi, meluruskan dan menyempurnakan proses tersebut. Ibu dapat
diibaratkan sebagai arsitek dalam keluarga yang memiliki tugas mengatur, menata baik yang
berhubungan dengan makanan (tata boga), tata busana dan tata graha. Dan yang terpenting
adalah peran ibu menjadi kunci dalam membina, membentuk pribadi dan karakter anak. oleh
karena itu agar terjadi saling pengabdian antara ayah dan ibu, dan tidak saling menguasai, maka
sebelum membangun keluarga yang satyam, sivam, sundaram yang perlu diperhatikan adalah
cara untuk mendapatkan pasangan hidup, tata letak bangunan rumah (tata graha), hari baik
Wivaha dan memahami peran orang tua (ayah, istri) dan anak – anaknya. Ini sangat penting
mengingat keluarga akan ada sepanjang hayat.
B.
PENGERTIAN KELUARGA SUKINAH
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan
Keluarga adalah orang – orang yang menjadi
penghuni rumah, seisi rumah; bapak, ibu dan anak – anaknya, satuan kekerabatan yang mendasar
dalam masyarakat ( Umi Chulsum, S.Pd : 2006, 360).. Dalam konsep Hindu Keluarga berasal
dari kata Kula yang berarti “Pengabdian” dan Warga berarti “Jalinan”. Dengan demikian
Keluarga adalah jalinan atau ikatan pengabdian. Ikatan pengabdian untuk mewujudkan
kehidupan yang damai, sejahtera, seimbang dan harmonis (sukhino) sebagai penunjang dari
kehidupan kemasyarakatan secara keseluruhan . Dalam Dresta di Bali, disebutkan bilamana
seseorang ingin melangsungkan perkawinan, ia harus mengikuti ketentuan “TIGA
MAH” (umah/Rumah/papan, amah/kebutuhan pangan dan sandang, somah (pasangan hidup).
Untuk mendapatkan ketiga itu harus berlandaskan dharma (Drs. I Ketut Pasek Swastika, 2011 :
114).
penghuni rumah, seisi rumah; bapak, ibu dan anak – anaknya, satuan kekerabatan yang mendasar
dalam masyarakat ( Umi Chulsum, S.Pd : 2006, 360).. Dalam konsep Hindu Keluarga berasal
dari kata Kula yang berarti “Pengabdian” dan Warga berarti “Jalinan”. Dengan demikian
Keluarga adalah jalinan atau ikatan pengabdian. Ikatan pengabdian untuk mewujudkan
kehidupan yang damai, sejahtera, seimbang dan harmonis (sukhino) sebagai penunjang dari
kehidupan kemasyarakatan secara keseluruhan . Dalam Dresta di Bali, disebutkan bilamana
seseorang ingin melangsungkan perkawinan, ia harus mengikuti ketentuan “TIGA
MAH” (umah/Rumah/papan, amah/kebutuhan pangan dan sandang, somah (pasangan hidup).
Untuk mendapatkan ketiga itu harus berlandaskan dharma (Drs. I Ketut Pasek Swastika, 2011 :
114).
Kitab
Manawa Dharmasastra IX. 45 :
Etavan
eva puruso, Yajjaya
atma prajeti ha, Viprah prahus tatha caitad, Yo bharta sa smrtangana
Terjemahan :
Ia
hanya merupakan orang sempurna yang terdiri dari tiga orang yang menjadi satu
isterinya, Ia
sendiri dan keturunannya; demikian dinyatakan dalam Veda dan Brahmana mengatakan
perumpamaannya suami dinyatakan satu dengan istrinya.
sendiri dan keturunannya; demikian dinyatakan dalam Veda dan Brahmana mengatakan
perumpamaannya suami dinyatakan satu dengan istrinya.
Dari
beberapa pengertian diatas, sangat jelas bahwa unsure – unsure dalam keluarga hindu adalah
adanya Rumah, Bapak, Istri, Putra – putranya. Dan di dalam rumah itu terjadi saling Pengabdian
yang berdasarkan dharma (kewajiban). Jalinan atau ikatan pengabdian dalam rumah tangga baik
secara Vertikal maupun secara horizontal. Pengabdian secara Vertikal adalah pengabdian
menjalankan ajaran dharma, bhakti kepada Tuhan melalui tapa, yoga semadi, dan lain – lainnya
yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan dalm upaya membangun kehidupan spiritual dalam
keluarga tersebut. Sedangkan secara horizontal adalah pengabdian sesame dalam keluarga
tersebut antara ayah, Ibu dan anak – anaknya. Disamping itu keluarga juga menjaga dan menjalin
hubungan dengan baik dengan tetangga terdekat dengan jalan melakukan dialog kehidupan, guna
menjaga kerukunan hidup bertetangga. Jika kehidupan berumah tangga (keluarga) kita pahami
sebagai ikatan pengabdian, maka dalam keluarga tidak ada istilah yang berkorban dan
dikorbankan, tetapi jalinan kasih dengan pengabdian. Sungguh keliru jika ada pendapat bahwa
orang tua berkorban untuk anaknya demikian pula sebaliknya. Seorang suami sangatlah keliru
jika berpikiran ia berkorban untuk istri dan anaknya, begitu pula sebaliknya. Semua anggota
keluarga hendaknya menyadari dengan sadar bahwa ia melakukan pengabdian dengan jalinan
kasih sayang yang tulus iklas diantara sesame anggota keluarga. Dengan demikian semua anggota
keluarga sewajarnya melakukan pengendalian diri. Dapat disimpulakn secara sederhana yang
dimaksud keluarga Sukhinah adalah ikatan pengabdian antara Ayah, Ibu dan putra - putranya
untuk melakukan proses pembangunan agar didalam keluarga tersebut sejahtera dan
bahagia. Keluarga bahagia akan terwujud jika sandang, pangan dan papan terpenuhi.
adanya Rumah, Bapak, Istri, Putra – putranya. Dan di dalam rumah itu terjadi saling Pengabdian
yang berdasarkan dharma (kewajiban). Jalinan atau ikatan pengabdian dalam rumah tangga baik
secara Vertikal maupun secara horizontal. Pengabdian secara Vertikal adalah pengabdian
menjalankan ajaran dharma, bhakti kepada Tuhan melalui tapa, yoga semadi, dan lain – lainnya
yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan dalm upaya membangun kehidupan spiritual dalam
keluarga tersebut. Sedangkan secara horizontal adalah pengabdian sesame dalam keluarga
tersebut antara ayah, Ibu dan anak – anaknya. Disamping itu keluarga juga menjaga dan menjalin
hubungan dengan baik dengan tetangga terdekat dengan jalan melakukan dialog kehidupan, guna
menjaga kerukunan hidup bertetangga. Jika kehidupan berumah tangga (keluarga) kita pahami
sebagai ikatan pengabdian, maka dalam keluarga tidak ada istilah yang berkorban dan
dikorbankan, tetapi jalinan kasih dengan pengabdian. Sungguh keliru jika ada pendapat bahwa
orang tua berkorban untuk anaknya demikian pula sebaliknya. Seorang suami sangatlah keliru
jika berpikiran ia berkorban untuk istri dan anaknya, begitu pula sebaliknya. Semua anggota
keluarga hendaknya menyadari dengan sadar bahwa ia melakukan pengabdian dengan jalinan
kasih sayang yang tulus iklas diantara sesame anggota keluarga. Dengan demikian semua anggota
keluarga sewajarnya melakukan pengendalian diri. Dapat disimpulakn secara sederhana yang
dimaksud keluarga Sukhinah adalah ikatan pengabdian antara Ayah, Ibu dan putra - putranya
untuk melakukan proses pembangunan agar didalam keluarga tersebut sejahtera dan
bahagia. Keluarga bahagia akan terwujud jika sandang, pangan dan papan terpenuhi.
C. Langkah - Langkah Membangun Keluarga Sukhinah. .
1. Pemilihan
calon Pendamping (suami atau istri).
Dalam Undang – Undang No. 1 Tahun
1974, pasal 1 dijelaskan Perkawinan adalah ikatan
lahir dan bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain keluarga dibentuk dari perkawinan yang suci dan sacral. Keluarga yang
demikian disebut keluarga Sukhinah. Keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hayat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana pengabdian
dengan kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkunganya dengan selaras, serasi,
harmonis dan mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai – nilai sraddha dan
bhakti.
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain keluarga dibentuk dari perkawinan yang suci dan sacral. Keluarga yang
demikian disebut keluarga Sukhinah. Keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hayat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana pengabdian
dengan kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkunganya dengan selaras, serasi,
harmonis dan mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai – nilai sraddha dan
bhakti.
Perkawinan adalah upaya untuk menyatukan
pikiran – pikiran diantara insane berbeda untuk mewujudkan satu pemikiran guna
mencapai tujuan keluarga yang sejahtera. Untuk itu sangat dipengaruhi usaha
seseorang untuk memperoleh pasangan yang baik, sebab perkawinan tidak untuk
sekejap atau main – main tetapi memiliki tujuan mulia. Tujuan dimaksud adalah
melaksanakan ajaran agama (dharmasampati), melakukan kepuasan nafsu dengan
tujuan kebajikan (Rati) dan untuk mendapatkan keturunan (praja). Setiap
pasangan pengantin pasti menginginkan anak yang suputra. Untuk itu diupayakan
agar tidak salah pilih dalam memnentukan pasangan hidup. Pemilihan pasangan
hidup yang baik adalah selalu melihat dari aspek Bibit, Bobot dan Bebet (Arthayasa
dkk, 2004 : 12).
Aspek bibit berhubungan dengan
asal – usul calon pasangan. Pemilihan calon pasangan hendaknya dilihat dari
keluarga baik – baik artinya bukan dari keluarga yang gemar mabuk, main judi,
suka marah, berpenampilan kotor, pembohong, suka memfitnah dan sebagainya
sebagai aplikasi dari ajaran Sad Ripu dan Sad Atatayi. Hal seperti ini sangat
perlu untuk dihindari sebab akan berpengaruh terhadap keturunan anak – anak
kelak. Untuk itu agar diupayakan dengansebaik – baiknya agar mendapatkan calon
pasangan dari ciri – ciri kelahiran Swargavyuta yakni mereka – mereka yang
memiliki ciri Arogya (tidak sakit – sakitan), Rati (disayangi oleh
keluarganya), Curatwa (bersifat kesetria), Dewasubhaktih (Bhakti pada Tuhan),
kanakalabha (murah rejeki), Rajapriyatwa (disayangi oleh orang besar), Cura
(pemberani), Krtawidya (bijaksana), Pryamwada/ ramah tamah (I Gusti Agung Oka,
1994 : 24 -25). Aspek Bebet atau penampilan.
Menurut I Gede Pudja, 2002 : 132 – 133) hendaknya dihindari orang yamg memiliki
kelahiran dari Nerakacyuta dengan ciri – ciri anapatya (mandul), akamarasa
(wandu), Pitti (memiliki penyakit asma), kujiwa (bisu), Clesma (berbicara
kurang jekas), dan memiliki rambut
kemerah – merahan. Aspek Bobot banyak sekali diatur
dalam susastra Hindu. Dalam Canakya Nitisastra dan Veda Semerti III. 7
disebutkan Keluarga yang tidak mempunyai kepakaan terhadap upacara suci, tidak
mengerti ajaran Veda hendaknya dihindari untuk dijadikan pasangan hidup dalam
keluarga.
Menentukan pasangan hidup, bukan
mudah. Sebab kalau salah memilih teman hidup sama halnya salah membangun
pondasi rumah. Mesti kita meyakini bahwa jodoh berada di tangan Ida Sanghyang
Widhi Wasa, namun selaku makhluk ciptaan Tuhan kita tidak boleh menerima begitu
saja, kita harus berupaya agar mendapatkan yang terbaik untuk keluarga
nantinya. Oleh karena itu hal – hal yang harus diperhatikan dalam menentukan
pasangan hidup adalah Usia/ umur, Pendidikan, Keyakinan, Pekerjaan, tenung kelahiran,
nama, kesehatan dan karakternya. Manawa Dharmasastra
III.7 menganjurkan untuk menghindari memilih calon istri yang keluarganya tidak
melaksanakan upacara – upacara suci, tidak memiliki keturunan laki – laki,
tidak mempelajari Veda, anggota badannya berbulu tebal, memiliki penyakit
wasir, penyakit jiwa, maag dan lepra (hina kriyam nispurusam, nischando roma
sarsasam, ksayyamaya pasmari, svitrikusthi kulani ca).
Disamping ciri – ciri yang telah
disebutkan diatas dalam memilih calon pasangan hidup, perlujuga diketahui tenung pertemuan antara yang laki dengan wanita dilihat dari pertemuan Sapta
Wara dan Panca Wara, baik laki maupun pertemuan. Dalam Wariga Sundari Bungkah
disebutkan untuk mengetahui pertemuan kita baik atau buruk bisa dilihat berdasarkan atas urip
Pancawara - Saptawara dan Sadwara dari kelahiran pasangan suami istri, kemudian dibagi 16,
maka sisanya sebagai berikut :
1. Sisa 1 = suka dan duka, bimbang
2. Sisa 2 = Suka sandang pangan
3. Sisa 3 = Kecewa, malu, bertengkar
4. Sisa 4 = tanpa anak/ kematian anak
5. Sisa 5 = sejahtera
6. Sisa 6 = sengsara, sakit - sakitan.
7. Sisa 7 = suka, duka tetapi bahagia.
8. Sisa 8 = sulit hidupnya.
9. Sisa 9 = bhaya pati, salah satu mati.
10. sisa 10 = berwibawa
11. sisa 11 = Prajnan, berwibawa, sejahtera dan cita - cita tercapai.
12. sisa 12 = rukun sejahtera
13 sisa 13 = panjang usia dan berkecukupan.
14. Sisa 14 = dapat kesenangan tapi kena musibah
15. Sisa 15 = tanpa anak, dapat kesulitan
16. Sisa 16 = disayangi keluarga dan teman
2.
Hari
baik Vivaha.
Agar memperoleh keluarga yang baik maka hendaknya perkwinan dilakukan secara Brahma Vihaha, Daiva Wivaha, Arsa vivaha dan Prajapatya vivaha. Brahma vivaha yaitu perkawinan
yang dilakukan dengan memberikan anak gadis kepada seorang pria yang ahli veda dan
berprilaku baik. Daiva Vivaha; perkawinan atas dasar suka sama suka dengan jalan
memberikan anak gadis kepada seorang pendeta yang telah melaksanakan upacara pada saat
upacara berlangsung. Arsa Vivaha; perkawinan yang didasari atas suka sama suka dan
dilakukan oleh orang tua kedua mempelai dengan diawali pemberian mas kawin oleh pihak
pria. Prajapatya; perkawinan atas suka sama suka atas persetujuan orang tua.
Dalam melaksanakan upacara Vivaha sangat dianjurkan untuk mencari
hari baik. Karena hal ini akan sangat berpengaruh pada perjalanan perkawinan,
walau sampai saat ini belum ada penelitian terhadap waktu pelaksanaan
perkawinan. Dalam menentukan
waktu perkawinan, hal yang perlu diperhatikan adalah sasih yang baik (ayu),
penanggal/pangglong, wuku, wewaran, pewatwkan,Inggkel, dawauh, arah perjalanan
yang baik, larangan yang patut dihindari, caru sasih dan pertimbangan dari
Pandita/ Sulinggih (I
Ketut Pasek Swastika, 2011 : 77). Bilamana suatu ketika melaksanakan upacara
pernikahan harinya disebut baik, namun saat bersamaan ada upacara Dewa yajna di
Merajan/ Sanggah atau kayangan setempat, maka sebaikya upacara pernikahan
jangan dilakukan karena dianggap Memada – mada, dan diyakini akan berakibat
tidak baik, seperti akan kejadian sakit – sakitan, perceraian dan lain –
lainnya.
Berikut gambaran dewasa yang baik untuk melaksanakan perkawinan :
a. Sasih : ketiga, kapat,kelima, kepitu, kedasa.
b. Penanggal : ping 1, 2, 3, 5, 7, 10, 13.
c. Pangglong : ping 1, 2, 3, 5, 7, 10, 13.
d. Wewaran, Dwiwara : Menga, Tri Wara Beteng, Catur Wara : Sri, laba, jaya menala,
Pancawara; umanis, paing, pon, kliwon, Sad Wara; Paniron, Was, Maulu, Saptawara;
Soma, Bhuda, Wrspati, Sukra; Astawara : Sri, Indra, Guru, Yama, Brahma, Uma;
Sangawara : Gigis, Nohan, Tulus, Dadi; Dasawara : pandita, suka, sri manuh, manusa,
raja, dewa.
e. Wuku; landep, ukir, kulantir, julungwangi, merakih, metal, uye dan uGu.
3. Rumah tempat tinggal.
Ajaran Hindu menganjurkan agar struktur bangunan ditata berdasarkan konsep Tri Mandala
yaitu adanya tempat sembahyang (utama mandala), tempat kegiatan cengkrama dengan
anggota keluarga atau kegiatan social (madya mandala) dan adanya pelestarian lingkungan
(nista mandala). Maksud dari penataan ini adalah untuk menjamin hubungan yang
berkelanjutan tiada henti secara harmonis antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
manusia dengan sesame, dan hubungan manusia dengan lingkungan. Dengan adanya
keharmonisan tersebut, kebahagiaan akan terwujud dalam rumah tangga. Dalam susastra hindu
disebutkan jika keluargaa memiliki halaman rumah dan adapat digunakan untuk membangun
tempat suci, maka dianjurkan untuk membangun tempat suci tersebut. Tetapi bila tiada halaman
yang ada hanya rumah dengan kamar – kamarnya, maka paling tidak ada tempat khusus untuk
sembahyang yang mana pada tempat/ ruang tersebut ada sebuah pelangkiran. Bangunan rumah
sebagai tempat bercengkrama keluarga, dalam tradisi Bali yang wajib diperhatikan adalah Letak
bangunan Dapur di selatan bararti cukup pangan, akan tetapi jika dapur terletak dibarat, timur,
utara, barat laut, timur laut akan berakibat dalam keluarga selalu berselisih, pintu rumah banyak
dalam satu sisi akan berakibat boros dan sakit – sakitan dan Penempatan pintu halaman rumah
juga menentukan. Posisi pintu halaman rumah banyak dikupas dalam Astha Bumi dan Kosala
Kosali.
4.
Pemenuhan
kebutuhan
Terdapat 3
(tiga) hal penting kebutuhan hidup dalam membangun keluarga sukhinah. Ketiga hal tersebut antara lain :
a.
Ahara (Makanan)
Ahara
artinya membangun hidup yang berkualitas hendaknya diawali dengan mendapatkan makanan dan mengelola makanan dengan baik dan benar. Makanan yang
diperoleh dari hasil kejahatan (dari mencuri, menipu, dan korupsi) dapat menutup hati
nurani. Bila hati nurani kita tertutup maka kita akan mudah berbuat yang asubha karma.
Seseorang yang terturup hati nuraninya tidak akan dapat melihat dengan baik sinar
kebenaran.
Chandogya Upanisad : Ahara suddhau sattva suddhih, sattva suddhau dhruva smrtih
smrti lambe sarvagranthinam vipra mokshah artinya bahwa makanan tingkat satvam
menyucikan sifat – sifat satvam, dengan tersucikan sifat satvam, ingatan jadi tajam, dan
dengan ingatan tajam (ingatan rohani) maka segala kotoran akan menjadi sirna).
smrti lambe sarvagranthinam vipra mokshah artinya bahwa makanan tingkat satvam
menyucikan sifat – sifat satvam, dengan tersucikan sifat satvam, ingatan jadi tajam, dan
dengan ingatan tajam (ingatan rohani) maka segala kotoran akan menjadi sirna).
Bhagavad Gita XVII.8 : Ayuhsattvabalarogya, Sukhapritiwiwardnahan, Rasyah snigdhah
sthira hridya stasAharah sattvikapriyah (Makanan yang meberi hidup, kekuatan, kesehatan,
kebahagiaan dan kesenangan yang terasa least, lembut, menyegarkan dan enak adalah
sangat disukai oleh satvika (orang baik).
Makanan yang segar kita nikmati akan mendatangkan Ayuh (dapat memperpanjang umur),
Satvika ( mensucikan atma), Bala(memberikan kekuatan fisik), Arogya ( menjaga
kesehatan). Sukha (memberi rasa bahagia), dan Viva dhayah (meningkatkan status
kehidupan)
2. Ausada yaitu upaya untuk memelihara kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan fisik maupun
mental. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengamalkan kesusilaan (subha karma)
antara lain Panca Yama Brata, Catur Paramita (empat kebajikan luhur), Tri Kaya Pari Sudha(tiga
perbuatan yang suci/bersih), Tatvam Asi dan mengamalkan ajaran Vasudeva Kutumbhakam
dalam kehidupan sehari – hari.
Kitab Manawa Dharmasastra IX.36 disebutkan :
Yadruam tupyate bijam, ksetre kalopapadite,
Tad rg rohati tat tasmin, bijam svair byanjitam gunaih
Terjemahan :
Apapun macam benih yang disemaikan, disiapkan pada waktu – waktu tertentu, tumbuh dari
jenis itu, ditandai oleh sifat – sifatnya yang khas dari benih itu, tumbuh dari padanya.
Dalam upaya menciptakan suasana keluarga bahagia dan sejahtera, maka peranan kesehatan
tidak bisa diabaikan. Sebab kesehatan keluarga merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan terciptanya kondisi keluarga bahagia dan sejahtera. Adalah sangat mustahil bagi
suatu keluarga untuk dapat menikmati kondisi bahagia dan sejahtera jika berada dalam keadaan
tidak sehat jasmani. Demikian halnya kesehatan mental dan kesehatan sosial sangatlah
menentukan juga. Ada disebutkan “Dharmathakamamoksanan sariram sadhanan” artinya badan
adalah alat untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Untuk menjaga kesehatan dalam
suatu rumah tangga , ada beberapa prilaku hidup bahagia dan sehat yang patut dilakukan dalam
rumah antara lain : mengenakan pakaian yang sopan, biasakan mencuci tangan sebelum makan/
sesudah makan, memperhatikan kebersihan kamr kecil (WC), tidak membuang sampah
sembarangan, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok, tidak meludah sembarangan,
mencegah hewan peliharaan agar tidak berkeliaran. Membrantas jentik nyamuk, dan lain – lain
(PHDI & Kemenkes; 2012 : 7 -8). Untuk menjaga kesehatan dianjurkan untuk memperhatikan
makanan yang bersih dan sehat serta memperhatikan kaidah gizi seimbang. Pada waktu makan
diupayakan agar melakukan doa sebelum makan, menghadapi dan memakan makanan dengan
penuh perhatian (tidak menghina makanan), makan makanan dengan penuh minat, tidak boleh
menyisakan makanan agar sisanya tidak terbuang, sebab nasi adalah penjelamaan Dewi Sri yang
wajib dipuja agar nasi membawa kesehatan bagi yang memakannya.
3. Vihara
(Gaya Hidup)
Vihara yakni membina sikap hidup yang
dapat mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Veda memberi petunjuk kepada umatnya untuk mempelajari 2 (dua) Ilmu Pengetahuan yaitu yang
bersifat spritual dan yang material (Dve Vidye viditavye para caivapara ca). Ilmu pengetahuan
spiritual untuk melaksanakan dharma dan mencapai moksha, sedangkan ilmu pengetahuan
material untuk memperoleh artha dan menikmati kama. Ini berarti tugas umat Hindu adalah
melaksanakan dharma, mengumpulkan artha kekayaan, menikmati kama dan mecapai Moksha.
Untuk mendapatkan itu semua wajib berlandaskan dharma berdasarkan ajaran – ajaran agama.
Apabila keempat tujuan hidup (Catur Purushartha) ini dilaksanakan secara benar dan saling
bersinergi maka ada peluang tercapainya tujuan hidup berupa kebahagian jasmani dan rohani
seperti apa yang menjadi visi ajaran Hindu yaitu Mokshartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.
Bhagavadgita menyatakan bahwa ada tiga pintu gerbang yang dapat mengantarkan umat
manusia jatuh kedalam kehancuran yaitu Krodha (marah yang tidak terkendali), Loba (serakah,
ambisi, rakus) dan Kama ( penyaluran napsu, keinginan yang tidak terkendali).
berlaku bijaksana, memahami dan mengamalkan ajaran Veda, selalu ingat dengan
leluhurnya
dan sangat menyayangi, menghargai orang lain ataupun tetangga mereka. Hal ini dinyatakan
dalam kekawin Ramayana “Gunamanta sang dasarata, wruh sira ring Veda,
tarmalupeng pitra puja, maasih ta sireng swagotra kabeh”. Dengan memahami dan
mengamalkan ajaran ini, maka setiap keluarga dengan tidak jemu – jemu untuk berusaha
melaksanakan tugas dan kewajibannya antara lain :
dan sangat menyayangi, menghargai orang lain ataupun tetangga mereka. Hal ini dinyatakan
dalam kekawin Ramayana “Gunamanta sang dasarata, wruh sira ring Veda,
tarmalupeng pitra puja, maasih ta sireng swagotra kabeh”. Dengan memahami dan
mengamalkan ajaran ini, maka setiap keluarga dengan tidak jemu – jemu untuk berusaha
melaksanakan tugas dan kewajibannya antara lain :
a. Kewajiban
Suami.
Swami berasal dari bahasa sanskerta yaitu Svami yang berarti Pelindung atau Bapak yang
dihormati dalam keluarga Hindu. Swami adalah pemimpin yang memegang segela bentuk
kebijakan dalam rumah tangga. Sementara Yuda Tri Guna mengartikan Ayah/Bapak di
maknai sebagai seseorang yang bertanggung jawab, karenanya jangan sekali - kali menye
but dirimu Bapak,jika tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab seorang swami menurut
Sarasamuccaya 242 yaitu Sarira Krti ( menjamin kesehatan keluarga), Prana data
(membangun jiwa anak) dan Anna data (memberikan makanan). Lebih lanjut tentang tugas
swami dijelaskan dalam Manawadharmasastra IX.2, IX.3, IX.9 dan IX.11. Isi dari sloka -
sloka tersebut dapat disebutkan Fungsi swami yaitu :
- Senantiasa menjaga dan melindungi istri dan anak - anaknya, serta memperlakukan dengan
wajar dan hormat, karena keluarga adalah jalinan pengabdian.
- Menyerahkan kepada istri penghasilannya untuk dikelola dengan baik pada jalan dharma.
- Menggauli istrinya dengan memberikan nafkah bathin dan selalu merasa puas dengan
istrinya.
- Selalu menjalankan kewajiban rumah tangga
- Selalu melaksanakan Sraddha Pitra Puja, memelihara cucu - cucunya serta melaksanakan
Panca Yajna.
Swami berasal dari bahasa sanskerta yaitu Svami yang berarti Pelindung atau Bapak yang
dihormati dalam keluarga Hindu. Swami adalah pemimpin yang memegang segela bentuk
kebijakan dalam rumah tangga. Sementara Yuda Tri Guna mengartikan Ayah/Bapak di
maknai sebagai seseorang yang bertanggung jawab, karenanya jangan sekali - kali menye
but dirimu Bapak,jika tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab seorang swami menurut
Sarasamuccaya 242 yaitu Sarira Krti ( menjamin kesehatan keluarga), Prana data
(membangun jiwa anak) dan Anna data (memberikan makanan). Lebih lanjut tentang tugas
swami dijelaskan dalam Manawadharmasastra IX.2, IX.3, IX.9 dan IX.11. Isi dari sloka -
sloka tersebut dapat disebutkan Fungsi swami yaitu :
- Senantiasa menjaga dan melindungi istri dan anak - anaknya, serta memperlakukan dengan
wajar dan hormat, karena keluarga adalah jalinan pengabdian.
- Menyerahkan kepada istri penghasilannya untuk dikelola dengan baik pada jalan dharma.
- Menggauli istrinya dengan memberikan nafkah bathin dan selalu merasa puas dengan
istrinya.
- Selalu menjalankan kewajiban rumah tangga
- Selalu melaksanakan Sraddha Pitra Puja, memelihara cucu - cucunya serta melaksanakan
Panca Yajna.
b.Kewajiban
Istri
Kata Istri dari bahasa Sanskerta akar "Stri" yang berarti Pengikat kasih. Dengan demikian
fungsi istri adalah menjaga jalinan kasih saying kepada suami dan anak - anaknya. Disamping
itu tugas utama Istri adalah bagian Tata bhoga, Tata busana, Tata Grha, dan pembimbing anak.
Dalam Manawa Dharma Sastra IX. 26 - 27 disebutkan sebagai berikut :
Prajanartham mahabhagan, pujarha grhdiptayah,
striyah sriyas ca gahesu, na viseso 'stri kascana
Artinya :
Diantara wanita yang ditakdirkan untuk mengandung anak, yang menjamin rahmat phahala
yang layak untuk dipuja dan yang menyemarakna tempat tinggalnya dan diantara dewi - dewi
yang menganugrahi rumah seorang laki - laki tak ada bedanya diantara mereka.
Utpadanam apatyasya, jatasya paripalanam
pratyaham lokayatrayah, pratyaksam stri nibandhanam
Artinya :
Kelahiran dari anak - anak, memelihara mereka dalam kehdiupan sehari - hari dan berkaitan
dengan itu merupakan kewajiban wanita.
Dari kedua sloka tersebut diatas maka dapat disebutkan fungsi seorang isteri antara lain :
1. Wajib untuk memenuhi Doa harapan orang tua yang menikahkannya.
2. Wajib memenuhi harapan dari suami, berupa harapan kesetiaan.
3. Selalu berpenampilan lemah lembut dan simpatik.
4. Sebagai Ibu Rumah Tangga
5. Sebagai Penerus keturunan
6. Sebagai pembimbing anak
7. Sebagai penyelenggara aktivitas keagamaan.
c. Tugas Suami dan Istri/ orang tua menurut Niti sastra VIII.3 “Panca Vida “
1. Sang amentwaken (yang menyebabkan kita lahir)
2. Sang Nitya Naweh Bhinojana (memberi makan dan minum)
3. Sang Manggu Padyaya (Pendidikan bagi anak – anaknya)
4. Sang Anyangaskara (pengendalian diri dan penyucian diri)
5. Sang Matulung Urip.
d. Kewajiban Putra/ anak.
Anak ada atau diadakan sebagai akibat dari proses perkawinan, karena itu anak dipandang
sebagai tujuan hidup berumah tangga. Anak merupakan dambaan setiap keluarga, lebih - lebih
anak suputra. Keberadaan ini tidak lepas dari sebuah perkawinan yang didasarkan atas
Satyam, Sivam Sundaram. Dari kesetiaan akan muncul kebajikan yang pada akhirnya akan
mendatangkan kesejahteraan atau kebahagiaan. Dalam hokum hindu, keberadaan anak
merupakan suatu keharusan. Disamping sebagai penerus suatu keluarga dan penerus yajna,
anak juga merupakan tempat berlindung. Anak merupakan penyelamatarwah leluhurnya dari
api neraka.
Dalam Sarasamuccaya 228 dinyatakan tugas anak :Kata Istri dari bahasa Sanskerta akar "Stri" yang berarti Pengikat kasih. Dengan demikian
fungsi istri adalah menjaga jalinan kasih saying kepada suami dan anak - anaknya. Disamping
itu tugas utama Istri adalah bagian Tata bhoga, Tata busana, Tata Grha, dan pembimbing anak.
Dalam Manawa Dharma Sastra IX. 26 - 27 disebutkan sebagai berikut :
Prajanartham mahabhagan, pujarha grhdiptayah,
striyah sriyas ca gahesu, na viseso 'stri kascana
Artinya :
Diantara wanita yang ditakdirkan untuk mengandung anak, yang menjamin rahmat phahala
yang layak untuk dipuja dan yang menyemarakna tempat tinggalnya dan diantara dewi - dewi
yang menganugrahi rumah seorang laki - laki tak ada bedanya diantara mereka.
Utpadanam apatyasya, jatasya paripalanam
pratyaham lokayatrayah, pratyaksam stri nibandhanam
Artinya :
Kelahiran dari anak - anak, memelihara mereka dalam kehdiupan sehari - hari dan berkaitan
dengan itu merupakan kewajiban wanita.
Dari kedua sloka tersebut diatas maka dapat disebutkan fungsi seorang isteri antara lain :
1. Wajib untuk memenuhi Doa harapan orang tua yang menikahkannya.
2. Wajib memenuhi harapan dari suami, berupa harapan kesetiaan.
3. Selalu berpenampilan lemah lembut dan simpatik.
4. Sebagai Ibu Rumah Tangga
5. Sebagai Penerus keturunan
6. Sebagai pembimbing anak
7. Sebagai penyelenggara aktivitas keagamaan.
c. Tugas Suami dan Istri/ orang tua menurut Niti sastra VIII.3 “Panca Vida “
1. Sang amentwaken (yang menyebabkan kita lahir)
2. Sang Nitya Naweh Bhinojana (memberi makan dan minum)
3. Sang Manggu Padyaya (Pendidikan bagi anak – anaknya)
4. Sang Anyangaskara (pengendalian diri dan penyucian diri)
5. Sang Matulung Urip.
d. Kewajiban Putra/ anak.
Anak ada atau diadakan sebagai akibat dari proses perkawinan, karena itu anak dipandang
sebagai tujuan hidup berumah tangga. Anak merupakan dambaan setiap keluarga, lebih - lebih
anak suputra. Keberadaan ini tidak lepas dari sebuah perkawinan yang didasarkan atas
Satyam, Sivam Sundaram. Dari kesetiaan akan muncul kebajikan yang pada akhirnya akan
mendatangkan kesejahteraan atau kebahagiaan. Dalam hokum hindu, keberadaan anak
merupakan suatu keharusan. Disamping sebagai penerus suatu keluarga dan penerus yajna,
anak juga merupakan tempat berlindung. Anak merupakan penyelamatarwah leluhurnya dari
api neraka.
Anu tam tata jivanti, jnatayah saha bandhavah,
parjanya iva bhutani drumam svadumivandajah
Terjemahan :
Yang dianggap anak adalah orang yang menjadi pelindung orang yang memerlukan
pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan; untuk
disedekahkan tujuannya, akan segala hasil usahanya,gunanya ia memasak menyediakan
makanan untuk orang - orang miskin.
Selanjutnya Sarasamuccaya 239 :
Tapassaucavata nityam dharmasatyaratena ca,
matapitroraharahah pujanamkaryamanjasa.
Terjemahan :
Orang yang senantiasa setiap hari hormat kepada Ibu, Bapaknya, tetap teguh melakukan
tapa dan menyucikan diriberpegang teguh pada kebenaran dharma.
Dari kedua sloka tersebut diatas dapat diketahui tugas anak adalah menyelamatkan
orang tua dari api neraka, melanjutkan pelaksanaan yajna, menyediakan makanan kepada
orang tuanya, menyucikan diri, berpegang teguh pada dharma dan menghormati orang tua.
Phahala anak menghormati orang tua atau leluhur. Dalam kitab Taittiriya Upanisad I.11
disbutkan Matri Deva bhava, pitri deva bhava, acaryadevo bhava, athitideva bhava. Artinya
ibu, ayah, pandita dan tamu adalah Dewa. Dewa adalah sinar suci dalam rumah tangga. oleh
karena itu ibu dan ayah sangat wajar untuk dihormati oleh keturunannya. Phahala hormat atau
bhakti pada orang tua dinyatakan dalam Sarasamuccaya 250 yaitu Kirti; selalu dipuji dan di
doakan untuk mendapatkan kerahayuan, Ayusa; berumur panjang, Bala; mendapat
kekuatan dan Yasa; meninggalkan nama baik atau kerahayuan.
D. DAFTAR
PUSTAKA.
1. Drs. I Ketut Pasek Swastika ------------------Grhasta Asrama, Pen.
Panakom,
Denpasar, 2011.
2. Umi Chulsum, S.Pd, Dkk ---------------Kamus Besar Bahasa
Indonesia,Pen. Kimko Surabaya, 2006.
3. I Nyoman Kadjeng Dkk ---------------------Sarasamuccaya, Pen. Paramita
Surabaya, 2010.
4. Ida Bagus Anom --------------------Perkawinan Menurut Adat
Agama Hindu. Pen. CV.
Kayumas Agung Denpasar 2010.
5. PHDI & KEMENKES, 2012 -------------------Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
di Pura.
6. Prof. DR.IB. Mantra -------------------Bhagavad Gita,
Milik Pemda Bali, 2001.
7. Departemen Agama RI ---------------------Modul Keluarga
BahagiaDerektorat Jenderal Sejahtera, menurut Pandangan
Bimas Hindu dan Bhuddha
Agama Hindu 2001,
8. G.Pudja, MA, dan Tjokorda Rai---------------Manawa Dharmasastra,
Sudharta, MA. Pen. Paramita Surabaya.
9. I Nyoman Arthayasa, dkk ---------------------Petunjuk Teknis Perkawinan
Hindu. Pe. Paramita Surabaya, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar